Perspektif Terhadap Rasa Syukur

Diperbarui

Perspektif Filosofis Tentang Rasa Syukur

Setidaknya selama 2000 tahun, para intelektual telah mempertimbangkan akan peran penting rasa syukur di dalam kehidupan sehari-hari, para filosof kuno dan juga para filosof yang tidak terlalu kuno, seperti cicero, Seneca dan Adam Smith, mengajarkan betapa pentingnya bersyukur (Fox et al., 2015; McCullough et al., 2002), Cicero dan Seneca menganggap berterima kasih dan bersyukur sebagai bentuk kebajikan yang utama bagi setiap peradaban yang sukses.

Agar lebih jelas, bukan hanya para filsuf kuno yang tertarik pada rasa syukur sebagai sebuah bentuk kebajikan, beberapa tahun terakhir, beberapa makalah menggambarkan rasa syukur dari perspektif psikologis-filosofis serta dari perspektif filosofis langsung (Jackson, 2016; Kristjansson, 2015; Moran, 2016; Morgan et al., 2017).

Jika rasa syukur merupakan sebuah emosi dasar manusia maka masuk akal mengapa manusia telah mempelajarinya selama ribuan tahun, rasa syukur sangat bermanfaat bagi spesies kita.

Perspektif Agama dan Spiritual Tentang Rasa Syukur

bersyukur

Tidaklah mengherankan jika gerakan keagamaan dan spiritual juga mengeksplorasi rasa syukur ini, Buddhisme, Kristen, Islam dan Yahudi adalah agama utama didunia yang memiliki banyak tulisan tentang hal ini.

Secara historis, banyak agama yang merujuk pada rasa syukur karena kebutuhan untuk bersyukur terhadap kekuatan yang lebih tinggi, lebih dari itu, Kekristenan, Islam dan Yudaisme menekankan rasa syukur sebagai langkah terpadu untuk menuju sebuah kehidupan yang lebih baik.

Misalnya, dalam Yudaisme, para pengikut Yahweh didorong untuk memulai hari dengan bersyukur karena telah bangun kembali, beberapa psikolog percaya bahwa Kekristenan sebagai contoh lainnya menggabungkan “rasa syukur kepada Tuhan” yang telah mengikat banyak orang kristen untuk bersama.

Bagi Islam, tujuan dari shalat lima waktu bukanlah untuk meminta apapun kepada Allah, tetapi sebaliknya, untuk menunjukkan rasa terima kasih dan syukur kepada Allah, ketiga agama ini menawarkan peran untuk rasa syukur yang unik, secara keseluruhan bersyukur pada keberadaan saat ini dan bersyukur kepada siapa yang telah mencipatakannya.

Dalam tulisan-tulisan Buddha Theravada yang lebih tua, rasa syukur menghubungkan para praktisi dengan masa lalu mereka, pada saat ini, rasa syukur dan konsep karma adalah kekuatan pendorong di balik Buddhisme filantropis di Tiongkok, seperti agama Kristen, Islam dan Yudaisme, rasa syukur juga memainkan peran unik dalam agama Buddha secara historis dan juga saat ini.

Perspektif Psikologis Modern tentang Rasa Syukur

bersyukur

Baru-baru ini, positive psychology telah memperluas penelitian tentang pentingnya rasa syukur, penelitian ini sebagian besar dipimpin oleh Robert Emmons.

Emmons telah menulis beberapa naskah tentang psikologi dari rasa syukur, menunjukkan bahwa dengan menjadi lebih bersyukur dapat menyebabkan peningkatan pada tingkat kesejahteraan.

Beberapa karya Emmons juga telah membahas secara khusus rasa syukur dalam lingkungan keagamaan dan menyoroti bagaimana perasaan bersyukur terhadap kekuatan yang lebih tinggi dapat menyebabkan peningkatan pada kesehatan fisik.

Referensi

Pengertian | Mengapa | Perspektif | Manfaat